Memahami Pengertian Hukum Adalah Panglima
Dewi Themis - Pengertian hukum adalah panglima |
Istilah panglima bila dikaitkan dengan
hukum, maka akan menjadi istilah implisit. Terminologi ini tak dapat langsung
dipahami sebagai sesuatu yang berkaitan dengan hukum. Maka hukum dan panglima
disini harus dikaitkan.
Dalam hal mengaitkan ini, muncullah makna baru yang tak dapat lagi dipahami
hanya sebagai pemimpin pasukan maupun pemimpin kesatuan tentara. Di posisi
tersebut, Pengertian Hukum Adalah
Panglima ingin ditunjukkan sebagai adanya superioritas dalam
penggambaran yang berarti harus berada di tempat lebih tinggi
daripada hal lainnya. Bagi para pemikir hukum, akhirnya disebut panglima untuk
menunjukkan terkait supremasi hukum. Supremasi sendiri memiliki arti kekuasaan
tertinggi.
Lalu pertanyaannya adalah apakah hukum memang berada di atas hal-hal
subsistem lainnya? Dari segi konstitusi memang jelas demikian. Konstitusi kita
sebelum di-amandemen, hanya mempertegas dalam penjelasan
bahwa Indonesia merupakan negara yang berdasar hukum. Dengan adanya sistem
konstitusional turut menegaskan bahwa pemerintah berdasar sistem konstitusi tidak bersifat absolutisme.
Rasanya penegasan ini amatlah penting, dalam kajian hukum memang berkembang sedemikian rupa. Mulai dari yang
sederhana sampai yang paling rumit. Pakar sarjana melihat persoalan tersebut
dengan sudut pandang sederhana, seolah-olah ingin memperjelas bahwa hal
tersebut sudah tak perlu lagi diperdebatkan karena semuanya sudah jelas. Tapi
ada sebagian sarjana yang justru berpikir sebaliknya.
Saat dalam penjelasan disebutkan bahwa Indonesia merupakan negara yang
berdasarkan atas hukum (rechtstaat), maka muncul pertanyaan mengapa posisi
hukum harus ditegaskan dengan rechstaat? Ini bukanlah pertanyaan yang
sederhana.
Pada ujung kalimat setelah menegaskan negara hukum, kemudian dilanjutkan
kata-kata yang tidak berdasarkan kekuasaan semata. Kita sadari bahwa
kekuasaan tetaplah dibutuhkan. Tapi tetaplah berdasar atas hukum. Hukum berada di atas semuanya.
Kerapkali apa yang tercantum di dalam teks, tidaklah selalu selaras dengan
realitas. Untuk menanggapi kondisi tersebut, para ahli hukum pun membagi
pembicaraan mengenai hukum ke dalam 2 ruang, yaitu ruang yang dinamakan sesuatu yang
seharusnya serta ruang tentang sesuatu senyatanya.
Berdasarkan konsep ini, maka adanya perbedaan lain juga haruslah dilakukan.
Apakah sesuatu yang dipermasalahkan tersebut ada pada
tataran norma? atau berada dalam tataran implementasi? Di dalam hubungannya dengan pembentukan hukum, maka norma berterkaitan
dengan bagaimana hukum tersebut dirumuskan serta dibentuk. Bila secara
normatif, maka rumusnya sudah jelas bagaimanakah prosesnya, dari mulai inisiasi
sampai pengesahan. Ujungnya yaitu asas fictie, bahwa semua orang tak ada
istilah berkilah tak tahu hukum saat suatu undang-undang telah disahkan serta diundangkan
di dalam lembaran negara.
Saat dilaksanakan, hukum tersebut menjadi sesuatu hal yang harus digerakkan dan ditegakkan. Hukum tidak lagi hanya menjadi kata-kata yang
mati. Bunyi pasal dalam implementasi, barulah bergerak saat keberanian para penegak
hukum menerapkannya. Keberanian tersebut juga, di dalam hukum memiliki perspektif
realitas, hukum dapat diarahkan ke dalam berbagai arah. Di dalam perspektif
realitas, maka hukum sebagai sistem tak dapat dikekang dari pengaruh serta
interaksi dengan berbagai macam subsistem di dalam kehidupan.
Di dalam perspektif realitas tersebutlah yang diingatkan Soetandyo
Wignjoesoebroto tentang strata masyarakat yang juga berpengaruh terhadap bagaimana
hukum berjalan pada strata tersebut. Soetandyo Wignjoesoebroto menyebutkan
dalam bidang ilmu sosial dikenal pula istilah stratifikasi, yang merupakan
sebuah proses terjadinya pelapisan di dalam kehidupan bermasyarakat serta
menjadikan sebuah struktur kehidupan yang terstratifikasi dalam kelas-kelas. Maka
status tinggi dan rendah kemudian muncul dalam masyarakat.
Sebenarnya Pengertian Hukum Adalah
Panglima ingin membuang jauh kenyataan strata yang demikian. Bila
ditelusuri lebih mendalam, panglima pun juga berkaitan dengan upaya dalam penyelenggaraan
hukum. Yang artinya semenjak awal, saat pembentukan hukum telah ingin dikuatkan
oleh hukum, maka kemudian menjadikannya alat untuk mencapai apa yang disebut
dengan kebahagiaan.
Namun dalam perjalanan kemudian, hukum sering dijadikan sebagai alat
politik serta kekuasaan. Posisi yang demikian tak hanya terjadi dalam negeri
kita. Nyatanya secara global, hal tersebut juga tengah mereka dihadapi. Barangklai
ada satu hal yang menarik untuk dijadikan bahan renungan, saat secara global,
produk-produk kesepakatan dilahirkan agar mengikis keretakan kemanusiaan, namun
pada saat yang bersamaan, perilaku-perilaku yang menistakan manusia juga terus saja
terjadi.
Sudahkah kita menjadikan Hukum sebagai Panglima dalam kehidupan kita
sendiri?
0 comments